KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Yg Telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan kemampuan dan kekuatan
kepada penulis untuk dapat menyelesainkan tugas ini.
Dalam
menyelesaian tugas penulis berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini dapat
mencapai kesempurnaan, namun sebagai hambah Allah SWT yang menyadari sepenuhnya
atas segala kekurangan, kehilafan dan kesalahan. Olehnya itu, penulis menerima
kritikan dan saran dari semua pihak dalam penyempurnaan tugas ini. Semoga apa
yang terdapat dalam penulisan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca utamanya
bagi kami sendiri dalam pengembangan pengetahuan di masa yang akan datang dan
segalanya bernilai ibadah disisi Allah SWT, Amin.
Gorontalo, 3 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia yang merupakan aktor kreatif
dari realitas sosial, sangat berperan penuh dalam proses didalamnya. Tindakan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai
dan sebagainya, yang kesemuanya itu sebenarnya adalah tercakup dalam fakta
sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.
Manusia dalam banyak hal memiliki
kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol struktur dan pranata sosial dari
mana individu itu berasal. Manusia juga secara aktif dan kreatif mengembangkan
dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dinia pengetahuan. Karena
itu, dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas
sosial yang relatif bebas didalam dunia sosialnya. Namun, pada kenyataannya
realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam
maupun diluar realitas tersebut. Sehingga realitas sosial memiliki makna,
manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh
individu lain sehingga mamantapkan realitas itu secara objektif. Individu yang
mengkontruksi relitas sosial, dan mengkontruksikannya dalam dunia realitas, dan
memantapkan realitas tersebut berdasarkan subjektivitas individu lain dalam
institusi sosialnya.
Dalam
penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan konstruksi
sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas
sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial. Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial,
realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai
yang disebut oleh George Simmel.
1.
Pengertian
Konstruksi
Sosial Media Massa
?
2.
Proses Munculnya
Kontruksi Sosial Media Masa ?
3.
Apa kaitan
antara Konstruksi Sosial Media Massa dan Filsafat ?
4.
Nilai-nilai apa yang muncul akibat
acuan konstruksi sosial media massa?
5. Apakah yang
dimaksud dengan realitas sosial
media ?
6.
Apakah yang dimaksud dengan Hyper-realitas ?
1.
Dapat
mengetahui pengrtian Konstruksi
Sosial Media Massa
2.
Mengetahui
proses munculnya Konstruksi Sosial Media Massa dan apa akibatnya
3.
Mengetahui
kaitanya dengan filsafat
4.
Untuk mengetahui
pengertian dari realitas social media dan hyper-realitas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kontruksi Sosial Media Masa
Kritik Terhadap Berger Dan Luckmann
Pada
kenyataanya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan
waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarki-vertikal, diamana
konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada
massanya, kyai epada santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada
anak-anaknya, dan sebagainya.
Ketika masyarakat semakin modern,
teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan
Lukcmann ini memiliki kekurangan atau tak mampu menjawab perubahan zaman,
karena masyarakat transisi modern di Amerika telah ahbis dan berubah
menjadi masyarakat moden dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan
sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang
tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan
sosial primer dan semi sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat
modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan kontruksi sosial
atas realitas Peter L. Berger dan Lukcmann menjadi tidak bermakna lagi. Susbtansi
teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann
adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam
kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis
sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar
tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik
untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media
massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial
atas realitas.
Teori
dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman
telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat
substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah
yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi dari
konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat
dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan
sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa,
massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis.
2.2 Proses Munculnya Kontruksi Sosial Media Masa
Melalui
konstruksi Sosial media Massa; Realitas iklan dalam televisi Dalam Masyarakat
Kapitalistik (2000), teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas
Peter L. Berger dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel
atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalm proses eksternalisasi,
subjektivitas, dan internalisasi. Substansi teori konstruksi sosial media
massa adala pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga kontruksi
sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata.
Posisi konstruksi sosial media
massa adalah mengoreksi substansi kelemaan dan melengkapi konstruksi sosial
atas realitas dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media
pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial atas
realitas. Dari konten kontruksi sosial media massa, proses kelahiran
konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi
Menyiapkan
materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas
itu didstribusikan pada desk editor yang ada disetiap media massa.
Setiap media massa memiliki desk yang brbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan
visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa,
terutama yang berhubungan dengn tiga hal, yaitu kedudukan, harta, dan
perempuan.
Ada tiga hal penting dalam menyiapkan materi konstruksi
sosial yaitu:
1.
Keberpihakan media massa kepada
kapitalisme.
2.
Keberpihakan semu kepada masyarakat.
3.
Keberpihakan kepada kepentingan
umum.
Jadi,
dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa cenderung menggunakan ketiga
hal tersebut. Namun, kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat
media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus
menghasilkan keuntungan.
b. Tahap Sebaran Konstruksi
Sebaran
Konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media
menyodorkan informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain
kecuali pada media cetak. Sedangkan media elektronik khususnya radio, bisa
dilakukan dua arah, walaupun agenda setting konstruksi masih didominasi
oleh media.
c. Pembentukan Konstruksi Realitas
·
Tahap pembentukan Konstruksi
Realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan
telah sampai pada pembaca dan pemirsanya, yaitu terjadi pembentukan konstruksi
di masyarakat melalui tiga tahap yaitu: konstruksi realitas pembenaran,
kesediaan dikonstruksi oleh media massa, dan sebagai pilihan konsumtif.
·
Pembentukan
Konstruksi Citra. Pembentukan
konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Dimana
banguana konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam
dua model, yaitu: model good news dan
bad news. Model good
news adalah sebua onstruksi yang cenderung mengkontruksi suatu pemberitaan
sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek dikontruksikan memiliki
citra yang baik, sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang
ada pada objek itu sendiri. Sedangkan bad
news. adalah sebuah konstruksi yang cenderung memberi citra buruk
pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat
dari sesungguhnya sifat jeleknya, dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu
sendiri.
d. Tahap Konfirmasi
Konfirmasi
merupakan tahap ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi
argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap
pembentukan konstruksi. Alasan-alasan yang sering digunakan oleh konfirmasi ini
adalah umpannya: Kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan
menjadi bagian dari produksi media massa, Kedekatan dengan medi massa adalah life style orang modern, dan media
massa walaupun memiliki kemampuan mengkonrtuksi realitas media berdasarkan
subjektivitas media.
2.3 Kaitan
Antara Konstruksi Sosial Media Massa dan Filsafat
Dalam aliran filsafat, gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia
dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit
lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, substansi,
materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan, manusia adalah makhluk sosial,
setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah
logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudian memperkenalkan
ucapannya “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Descartes yang
terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan
konstruktivisme sampai saat ini.
Pada tahun
1710, Vico dalam “De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan. Ia
menjelaskan, “mengetahui” berarti “
mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Hal ini berarti seseorang baru
mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu
itu. Menurut Vico, bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini
karena Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara
itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya
Gagasan
konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan
interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat.
Jika konstruksi
sosial adalah konsep kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci,
negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi, maupun militer
ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan
moral dan intelektual secara kontekstual. Kondisi dominasi ini kemudian berkembang
menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat.
Frans M. Parera (Berger dan Luckmann, 1990:xx)
menjelaskan, tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika
antara diri dengan dunia sosiokultural.
Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen
simultan yaitu
·
Eksternalisasi (penyesuaian diri)
dengan dunia sosiokultural sebagai sebagai produk manusia.
·
Objektivasi yaitu interaksi
sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dikembangkan atau mengalami
proses institusionalisasi.
·
Internalisasi, yaitu proses yang mana
individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Sosialisasi
yang tidak sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses
eksternalisasi yang di kmaksud Berger dan Luckmann.
2.4 Sumber Acuan Konstruksi Sosial Media Massa
Umumnya
nilai yang dikontruksi oleh media massa adalah nilai yang bersumber dari
redaktur dan para desk media
massa. Kalau dikatakan, bahwa media massa adalah replikasi dari masyarakat
diseitarnya, maka artinya replikasi itu diwakilkan ole nilai –nilai dan
norma-norma yang ada pada redaktur dan para desk media massa tertentu.
Nilai-nilai
lain yang menjadi acuan konstruksi sosial adalah perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana disadari , bahwa perubahan sosial di
masyarakat identik dengan gagasan kemodernan. Gagasan kemodernan itu indentik
dengan kebaratan. hal ini brarti selam perubahan itu datangnya dari Barat, maka
perubahan itu diterima karena dianggap modern. Gagasan tentang kemodernan itu
identik pla dengan materi, karena itu nilai tentang baik buruk, berarti atau
tidak berarti, pantas atau tidak pantas, semuanya diukur dengan materi dan itu
bisa dipertukarkan dengan uang. Siapa saja yang ingin modern, maka haris
menggunakan simbol-simbol materi kebendaan yang sesuai dengan nilai kebaratan.
Untuk semua harus dibeli dengan uang. Acuan nilai yang bersumber dari perubahan
sosial semacam ini kemudian menebar kemana-mana disegala kehidupan, termasuk
media massa.
2.5 Realitas Sosial Media
Segala sesuatu pasti akan menghampiri masa transisi
( perubahan ), sedangkan yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri.
itulah peribahasa klasik yang tetap relevan hingga masa dewasa saat ini. Tak
terkecuali dengan disiplin sosiologi yang tetap meneruskan keeksistensiannya
dalam pelbagai perubahan. Dan semua perubahan yang dialami oleh ilmu sosiologi
itu sendiri, didasari oleh tuntutan zaman yang semakin menunjukan taringnya
dalam menentukan integritas sebuah literatur sosial. Kecerdasan ideologi
manusia modern saat ini pun yang menjadi motivasi primer dalam pengembangan
kekompleksitasan institusi sosial. Realitas
adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial di sekelilingnya. George Simmel mengatakan bahwa realitas
dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kita realitas
itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya. Sementara itu, Max
Weber berpendapat bahwa realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Realitas sosial adalah penungkapan tabir
menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti
aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan
pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari
penilaian normatif. Saat ini, berdasarkan realitas yang ada,
sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman
yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan
informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam
kehidupan umat manusia. Kita telah mengalami masa peralih dari masyarakat
industri menjadi masyarakat informasi. Jacques Ellul (1980:1), menggambarkan
realitas masyarakat adalah masyarakat dengan sistem teknologi, yang baik atau
masyarakat teknologi, sedangkan menurut Goulet (1977:7), untuk mencapai
masyarakat teknologi yang baik, maka suatu masyarakat harus memiliki sistem
teknologi yang baik. Maka dari itu, fungsi teknologi adalah sebagai kunci utama
perubahan di masyarakat. Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi telah
menguasai jalan pikiran masyarakat. Televisi menguasai pikiran manusia dengan
mengkonstruksi theater
of mind (teater dalam pikiran manusia) melalui gambaran realitas
pada iklan-iklan di televisi. Selain memiliki kemampuan untuk membangun theater of mind, media
juga memiliki copywriter
dan visualiser
yang memiliki kemampuan untuk membangun realitas media tersebut. Dua
pekerja tersebut membangun realitas berdasarkan apa yang diinginkannya tentang
suatu produk atau jasa yang akan diiklankan. Padahal, seorang copywriter dan
visualiser
pun dipengaruhi oleh klien, budaya, pengetahuan umum, dan berbagai aspek
lainnya. Baudrillard (Pilliang, 1998:228)
2.6 Hyper-realitas
Bisa dikatakan bahwa saat ini umat manusia telah sampai pada
sebuah penjelajahan global, sebuah petualangan jagat alam raya maya yang
melampaui realitas. Fenomena ini bisa disebut dengan hiperrealitas
(hyperreality) atau sebuah realitas virtual (virtual reality). Masyarakat kita
juga telah memasuki dunia baru itu. Bahkan dunia ketiga pun tidak lepas dari
pengaruh perkembangan global tersebut. Karl K. Paper secara dramatis
menyebutnya sebagai dunia yang serba mungkin, tidak terbatas, yang didalamnya
mengandung sense of possibility tersembunyi.
Dalam dunia itu, apapun yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan pada dunia realitas sebelumnya bisa dilakukan, bahkan lebih dari itu. Lantas, seperti inikah yang dianggap sebagai realitas sesungguhnya? Ataukah, jangan-jangan manusia pada umumnya dikaburkan oleh realitas itu sendiri? Pada kenyataannya, realitas adalah sebuah konsep yang kompleks yang sarat dengan pertanyaan filosofis. Apakah yang semua kita lihat, suara atau bunyi yang kita dengar, rasa senang atau sedih yang kita rasakan, merupakan realitas sebenarnya Apalagi dengan adanya peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat post-industri telah begitu mempengaruhi bagaimana makna-makna dimuati di dalam obyek-obyek seni dan dikomunikasikan melalui media (massa). Misalnya, kemunculan gelombang post-modernisme menuntut, bahwa cara artikulasi makna-makna dan ideologi di dalam obyek-obyek seni harus ditinjau kembali.
Memeriksa dan berpendapat dunia kehidupan kontemporer adalah sebuah dunia yang di dalamnya hasrat manusia menguasai dunia, bahkan melawan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan semakin memperlihatkan kemundurannya, untuk digantikan oleh hasrat manusia. Hasrat yang mengendalikan dunia dan mencetaknya melalui model-model operasionalnya, yaitu reproduksi
Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya. Pertanyaan filosofis tersebut memberikan gambaran yang sederhana mengenai realitas komunikasi dalam dunia hiperrealitas –konsep media hiperrealitas Jean Baudrilladr- atau yang lebih populer dengan sebutan postmodern.
Ia juga merupakan kritik terhadap dikotomi realitas virtual komunikasi media massa postmodern yang membias pada realitas komunikasi langsung (face-to-face comunication) yang dianggap Baudrillard sebagai komunikasi sesungguhnya (otentik). Sebab, sebuah kecenderungan kebudayaan yang terjadi dewasa ini telah mengalami penyebaran yang hampir tampak. Yakni, bertumbuh kembangnya kekaburan makna akan realitas. Disadari atau tdak, semakin banyak manusia menerima “salinan” sebagai sesuatu yang asli. Disengaja atau tidak, pengalaman manusia telah terdistorsi oleh representasi budaya populer, representasi realitas melalui media massa elektronik ataupun cetak yang dengan sendirinya menghegemoni segala sikap dan tindakan kita.
Kita merasa bergairah dan menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada sang perantara (media massa) untuk mendefinisikan realitas dunia yang akan kita jalani. Fenomena perkembangan teknologi media tersebut memungkinkan peluang yang sangat terbuka bagi penciptaan trik-trik atau rekayasa image (citra) untuk menciptakan media realitas semu (realitas virtual atau hyperreality of media. Trik-trik yang diciptakan secara lihai dalam media memungkinkan masyarakat kontemporer, seperti dikatakan Paul Virilio dalam the Aesthetics of disapp earance, untuk “ menjadikan sesuatu yang supernatural, imaginer, bahkan yang tak masuk akal menjadi tempat.
Dalam dunia itu, apapun yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan pada dunia realitas sebelumnya bisa dilakukan, bahkan lebih dari itu. Lantas, seperti inikah yang dianggap sebagai realitas sesungguhnya? Ataukah, jangan-jangan manusia pada umumnya dikaburkan oleh realitas itu sendiri? Pada kenyataannya, realitas adalah sebuah konsep yang kompleks yang sarat dengan pertanyaan filosofis. Apakah yang semua kita lihat, suara atau bunyi yang kita dengar, rasa senang atau sedih yang kita rasakan, merupakan realitas sebenarnya Apalagi dengan adanya peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat post-industri telah begitu mempengaruhi bagaimana makna-makna dimuati di dalam obyek-obyek seni dan dikomunikasikan melalui media (massa). Misalnya, kemunculan gelombang post-modernisme menuntut, bahwa cara artikulasi makna-makna dan ideologi di dalam obyek-obyek seni harus ditinjau kembali.
Memeriksa dan berpendapat dunia kehidupan kontemporer adalah sebuah dunia yang di dalamnya hasrat manusia menguasai dunia, bahkan melawan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan semakin memperlihatkan kemundurannya, untuk digantikan oleh hasrat manusia. Hasrat yang mengendalikan dunia dan mencetaknya melalui model-model operasionalnya, yaitu reproduksi
Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya. Pertanyaan filosofis tersebut memberikan gambaran yang sederhana mengenai realitas komunikasi dalam dunia hiperrealitas –konsep media hiperrealitas Jean Baudrilladr- atau yang lebih populer dengan sebutan postmodern.
Ia juga merupakan kritik terhadap dikotomi realitas virtual komunikasi media massa postmodern yang membias pada realitas komunikasi langsung (face-to-face comunication) yang dianggap Baudrillard sebagai komunikasi sesungguhnya (otentik). Sebab, sebuah kecenderungan kebudayaan yang terjadi dewasa ini telah mengalami penyebaran yang hampir tampak. Yakni, bertumbuh kembangnya kekaburan makna akan realitas. Disadari atau tdak, semakin banyak manusia menerima “salinan” sebagai sesuatu yang asli. Disengaja atau tidak, pengalaman manusia telah terdistorsi oleh representasi budaya populer, representasi realitas melalui media massa elektronik ataupun cetak yang dengan sendirinya menghegemoni segala sikap dan tindakan kita.
Kita merasa bergairah dan menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada sang perantara (media massa) untuk mendefinisikan realitas dunia yang akan kita jalani. Fenomena perkembangan teknologi media tersebut memungkinkan peluang yang sangat terbuka bagi penciptaan trik-trik atau rekayasa image (citra) untuk menciptakan media realitas semu (realitas virtual atau hyperreality of media. Trik-trik yang diciptakan secara lihai dalam media memungkinkan masyarakat kontemporer, seperti dikatakan Paul Virilio dalam the Aesthetics of disapp earance, untuk “ menjadikan sesuatu yang supernatural, imaginer, bahkan yang tak masuk akal menjadi tempat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui Konstruksi Sosial Media Massa,
dalam Masyarakat Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas
realitas Peter L. Berger dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel
atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi,
subjectivasi, dan internalisasi. Dengan demikian sifat-sifat dan kelebihan
media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas
yang berjalan lambat itu..
Posisi konstruksi sosial media massa
adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas,
dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan
konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas. Nilai perubahan
sosial memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama yang menekankan gaya hidup
modern serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi.
Nilai-nilai perubahan sosial juga memiliki kesamaan dengan nilai yang dijunjung
tinggi oleh kapitalisme
hiper-realitas. Melalui model simulasi, manusia
dijebak didalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya
semu, maya, atau khyalan belaka.
3.2 Saran
Untuk
para pembaca
semoga dengan penjelasan yang ada dalam makalah kami para pembaca akhirnya
mengetahui realitas yang terjadi akibat konstruksi sosial media massa, dengan
harapan semoga realitas yang ditimbulkan akibat media massa tidak akan
menjerumuskan kita ke dalam jurang khayalan dan dunia maya. Selain itu harapan saya adalah hindari
penilaian yang bersifat materi untuk mengikuti gaya hidup modern
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,
Burhan. 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
http: //scirewl.blogspot.co.id/2014/12/konstruksi-sosial-media-massa.html (diakses, Rabu 1 september 2016)
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
http: //scirewl.blogspot.co.id/2014/12/konstruksi-sosial-media-massa.html (diakses, Rabu 1 september 2016)
0 Response to "Kontruksi Sosial Media Masa(Berger & Luckman), Realitas Sosial Media & Hyper-realitas"
Posting Komentar