MAKALAH
SOSIOLOGI
TEORI “BUNUH
DIRI”
EMILE DURKHEIM
DI SUSUN
OLEH
DENI IRAWAN
(S2215043)
JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS SOSIAL
DAN POLITIK
UNIVERSITAS
ICHAN GORONTALO
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT Yg Telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
serta senantiasa memberikan kesehatan kemampuan dan kekuatan kepada penulis
untuk dapat menyelesainkan tugas ini.
Dalam menyelesaian
tugas penulis berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini dapat mencapai
kesempurnaan, namun sebagai hambah Allah SWT yang menyadari sepenuhnya atas
segala kekurangan, kehilafan dan kesalahan. Olehnya itu, penulis menerima
kritikan dan saran dari semua pihak dalam penyempurnaan tugas ini. Semoga apa
yang terdapat dalam penulisan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca utamanya
bagi kami sendiri dalam pengembangan pengetahuan di masa yang akan datang dan
segalanya bernilai ibadah disisi Allah SWT, Amin.
Gorontalo,
8 MARET 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................1
DAFTAR ISI .................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
.............................................................3
A. Latar Belakang
......................................................................... 3
B. Perumusan Masalah
..................................................................4
C. Tujuan
.......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
...............................................................6
E. Biografi
Singkat Emile Durkheim..........................................6
F. Teori-Teori Emile Durkheim …………………........................10
G. Teori Solidaritas…………..
......................................................11
H. Teori BUnuh Diri ......................................................................12
I. Teori Agama…………
...............................................................12
J. Study Kasus ……………………………………………………13
BAB III PENUTUP
........................................................................14
K. Kesimpulan
.................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................15
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Durkheim
dianggap sebagai bapak sosiologi modern, karena usaha-usahanya menjadikan
sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru. Ia percaya bahwa masyarakat
dapat dipelajari secara ilmiah. Ia menolak pendekatan individual dalam memahami
fenomena dalam masyarakat dan lebih memilih pendekatan secara sosial. Oleh
karena itu ia juga berusaha memperbaiki metoda berpikir sosiologis yang tidak
hanya berdasarkan pada pemikiran-pemikiran logika filosofi tetapi sosiologi. Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk oleh
fakta sosial yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui
observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang
menyebabkan Durkheim sering Dianggap
sebagai bapak sosiologi (Gouldner, 1958). Meskipun istilah sosiologi telah
dilahirkan Auguste Comte beberapa tahun sebelumnya, namun belum ada
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
Untuk
memisahkan sosiologi dari filsafat, Durkheim berpendapat bahwa sosiologi mesti
berorientasi kepada penelitian empiris. Ia merasa terancam oleh aliran filsafat
yang terdapat dalam sosiologi itu sendiri. Dalam pandanganya, tokoh utama
lainya seperti Auguste Comte dan Herbert
Spencer, keduanya lebih memiliki perhatian pada filsafat, dalam teori abstrak,
kemudian mereka mempelajari dunia sosial secara empiris. Jika ranah ini
diteruskan berdasarkan arah yang disusun oleh Comte dan Spencer, Durkheim
khawatir, ranah ilmu ini tidak akan lebih dari sekadar sebuah cabang filsafat.
Artinya, Durkheim merasa perlu mengkritik Comte dan Spencer karena mereka
terlalu berpegang pada ide yang ada tentang fenomena sosial, dan bukanya pada
studi atas dunia riil secara aktual. Ia menganggap Comte masih keliru karena
telah mengandaikan secara teoritis bahwa dunia sosial selalu bergerak menuju
kondisi masyarakat yang kian lama kian sempurna bukannya melakukan kerja ilmiah
yang sungguh-sungguh, ketat, dan mendasar dalam mengkaji perubahan hakikat
berbagai masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi Emile Durkheim ?
2. Apa teori yang dikemukakan oleh
Emile Durkheim?
3. Contoh kasus pemikiran Emile
Durkheim di masyarakat Gorontalo?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
biografi dan latarbelakang Emile Durkheim
2.
Mengetahui
dan memahammi teori-teori yang dikemukaan oleh Emile Durkheim dan contohnya pada mayarakat Gorontalo
BAB
II
Pembahasan
A.
Biografi Singkat Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir
pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, Prancis. Ia berasal dari keluarga rabbi
atau pendeta bagi kaum Yahudi. Tetapi pada umur belasan tahun, Ia menyangkal
silsilah keturunanya (Strenski, 1997: 4). Sejak saat itu, minat terhadap agama
lebih akademis daripada teologis (Mestrovic, 1988). Ia tidak hanya kecewa
dengan ajaran agama, namun juga pada pendidikan umum dan penekananya pada
soal-soal literer dan estetis. Ia mendambakan bisa mempelajari metode-metode
ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Pada tahun
1887 Ia mengajar filsafat di beberapa sekolah provinsi di sekitar Paris.
Keinginanya dalam mempelajari ilmu pengetahuan semakin besar
ketika Ia melakukan perjalanan ke Jerman. Disana Ia mengenal psikologi ilmiah
yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Di tahun-tahun setelah kunjunganya ke Jerman,
Durkheim menrbitkan beberapa karya yang menuliskan pengalamanya di Jerman.
Publikasi-publikasi ini membantu Ia memperoleh posisi di departemen filsafat di
Universitas Bordeaux pada tahun 1887. Disana Durkheim memberikan kuliah dalam
ilmu sosial di sebuah Universitas Prancirs untuk pertama kalinya. Hal ini
merupakan
prestasi terbesar, karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan
menggemparkan merebak di sebuah Universiras Prancis setelah seorang mahasiswa
menyebut Auguste Comte dalam disertasinya. Tanggung jawab utama Durkheim adalah
memberikan pedagogik untuk calon guru sekolah, dan mata kuliahnya yang paling
penting adalah pendidikan moral. Alasan dari pendidikan moral sendiri adalah
agar para pendidik mampu menularkan sistem moral kepada siswa-siswanya yang
diharapkan memperbaiki kemrosotan moral yang Ialami masyarakat Prancis.
B.
Teori Emile Durkheim
1.
Teori Solidaritas
Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh
kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi
pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar
tergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan
antara individu dan / atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.
a.
Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif (pelaku
suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan
membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu). karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain,
dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun
pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh
setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system
moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya
pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
b.
Solidaritas
organik
Masyarakat
solidaritas organic dibentuk oleh hukum restitutif (ia bertujuan bukan untuk menghukum
melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang
kompleks). Dimana seseorang yang
melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat
sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari
masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya
moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi xecara emosional terhadap
pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas
moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini,
perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja
menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih
mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama
lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu
pembagian pekerjaan sosial.
2.
Teori tentang Agama
Dalam teori ini Durkheim
mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari
sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices
relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart
and forbidden – belief and practices which unite into one single moral
community called church all those who adhere to them.” Agama menurut
Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan
mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau
duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim
adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu
ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari
masyarakat itu sendiri yang sebagai collective
consciouness kemudian menjelma ke dalam collective
representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri
yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah
personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan
lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah
sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang
yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective
consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana
keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective
consciouness tersebut semakin lemah kembal
3. Teori Bunuh Diri
Dalam
bukunya yang kedua Suicide, dikemukakan
dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang
melakukan bunuh diri. Tujuannya dalam studi kali ini, selain untuk
berkontribusi terhadap pemahaman persoalan sosial, juga untuk menunjukan sebuah
kekuatan disiplin sosiologi. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan
sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan
yang sangat individual. Dan dengan pendekatan disiplin sosiologi yang baru ini,
ia percaya dapat memperluas ranah sosiologi kepada fenomena-fenomena lain yang
terbuka bagi analisis sosiologi.
Durkheim
tidak mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Karena itu adalah
wilayah studi psikologi. Perhatiannya adalah menjelaskan perbedaan angka bunuh
diri dari beberapa negara. Ia memiliki asusmsi mengenai fakta sosial yang
melatarbelakangi fenomena bunuh diri ini sekaligus kenapa suatu kelompok
memiliki angka bunuh diri yang lebih itnggi. Durkheim menggunakan dua cara yang
saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Pertama dengan
membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe lain. Kedua, dengan melihat perubahan angka bunuh
diri dalam sebuah masyarakat atau kelompok dalam rentang waktu tertentu. Jika
ada perbedaan dalam angka bunuh diri antara suatu kelompok dengan kelompok lain
atau dari suatu periode dengan periode yang lain, maka menurut Durkheim
perbedaan tersebut adalah akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus
sosial.
Dengan
angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di beberapa negara, dia
menunjukan penolakannya terhadap teori-teori lama tentang bunuh diri tersebut.
Kalau kemiskinan, menurut Durkheim, kenyataannya orang-orang dari lapisan
atas(kaya) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya dbanding dengan
orang-orang dari lapisan bawah(miskin). Hal itu ditunjukannya dengan mengatakan
bahwa di negara-negara miskin di Eropa seperti Italia dan Spanyol, justru
memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
Eropa yang lebih makmur, seperti Prancis, Jerman,dan negara-negara Skandinavia.
Lalu Durkheim menambahkan bahwa, jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang
lebih teratur dari pada sebab-sebab serta penjelasan-penjelasan yang diberikan
oleh teori-teori terdahulu mengenai bunuh diri. Angka bunuh diri yang
ditunjukan dari suatu kelompok atau masyarakat bersumber pada keadaan
masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, bunuh diri harus dipelajari
dengan menghubungkanya dengan struktur sosial dari masyarakat atau negara yang
bersangkutan,
Durkheim memusatkan
perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
A . Bunuh Diri
dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa
angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan
penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan
kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para
penganutnya.
B. Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan
bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil
pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang
pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
C. Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim
menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi
dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat
sipil.
Kemudian data tahun 1829-1848
disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau
pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan
politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
1. Bunuh Diri Egoistis.
Tingginya
angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di
mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas.
Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari
masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi
sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan
angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan
arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik
didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan
individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup,
begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam
diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh
diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2. Bunuh Diri Altruistis.
Terjadi
ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu
terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal
dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh
lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika
makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan
adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur
seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat
dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
3. Bunuh
Diri Anomic.
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi
masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa
tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas
berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri
ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku
lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup).
Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup
sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari
pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh
lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba
individu menjauh dari struktur
tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
Ada empat jenis bunuh diri akibat dari tipe anomik ini,
antara lain:
a.
Anomi ekonomis
akut (acute economic anomie) yakni kemerosotan secara sporadis pada
kemampuan lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial
pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
b.
Anomi ekonomis
kronis (chronic economic anomie) adalah kemerosotan regulasi moral yang
berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Misalnya saja revolusi industri
yang menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan-tujuan untuk meraih
kekayaan dan milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan
bahagia. Saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya
daripada orang-orang yang miskin.
c.
Anomi domestik
akut (acute domestic anomie) yang dapat dipahami sebagai perubahan yang
sedemikian mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada
ketidakmampuan untuk melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda
(widowhood) merupakan contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini.
d.
Anomi domestik
kronis (chronic domestic anomie) dapat dilihat pada kasus pernikahan
sebagai institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan
kebutuhan seksual dan
perilaku di
antara kaum lelaki dan perempuan. Seringkali yang terjadi adalah lembaga
perkawinan secara tradisional sedemikian mengekang kehidupan kalangan perempuan
sehingga membatasi peluang-peluang dan tujuan-tujuan hidup mereka.
4. Bunuh
Diri Fatalistis.
Bunuh diri
ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang
mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah
tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh:
perbudakan
C.
Study Kasus
Sofyan Terjun dari Lantai 3 Menara Keagungan Limboto.
Seorang mahasiswa tewas mengenaskan
setelah terjun dari Menara Keagungan, sebuah landmark Propinsi Gorontalo yang banyak dikunjungi
para wisatawan, Selasa (21/7). Belum diketahui motif Sofyan Ano nekat bunuh
diri. Dugaan sementara korban memiliki masalah asmara dengan sang kekasih.
Sofyan Ano yang tercatat sebagai mahasiswa STIMIK Jayakarta, Jakarta, tewas dengan kondisi mengenaskan di tengah jalan raya di bawah menara. Kepalanya pecah berhamburan setelah terjun bebas dari lantai empat Menara Keagungan di ketinggian 45 meter. Sebelum kejadian, korban sempat membeli tiket masuk di loket. Korban yang merupakan pengunjung pertama saat itu, sempat ditanyai oleh penjaga loket tiket karena berjalan sendirian. Kasus ini kini dalam penyelidikan aparat Kepolisian Resor Limboto, Gorontalo.
Di kamar mayat Rumah Sakit M.M Dunda Limboto, ibu korban tidak kuasa menahan tangis saat mengetahui anaknya telah terbujur kaku. Dia mengaku sudah memiliki firasat buruk sejak semalam sebelum kejadian. Kakak korban pingsan setelah melihat kondisi adiknya.
Sofyan Ano yang tercatat sebagai mahasiswa STIMIK Jayakarta, Jakarta, tewas dengan kondisi mengenaskan di tengah jalan raya di bawah menara. Kepalanya pecah berhamburan setelah terjun bebas dari lantai empat Menara Keagungan di ketinggian 45 meter. Sebelum kejadian, korban sempat membeli tiket masuk di loket. Korban yang merupakan pengunjung pertama saat itu, sempat ditanyai oleh penjaga loket tiket karena berjalan sendirian. Kasus ini kini dalam penyelidikan aparat Kepolisian Resor Limboto, Gorontalo.
Di kamar mayat Rumah Sakit M.M Dunda Limboto, ibu korban tidak kuasa menahan tangis saat mengetahui anaknya telah terbujur kaku. Dia mengaku sudah memiliki firasat buruk sejak semalam sebelum kejadian. Kakak korban pingsan setelah melihat kondisi adiknya.
Jika
di lihat dari motif bunuh diri di atas
dengan memakai teori dari Emile Durkheim maka kita dapat menyimpulkan bahwa
kasus bunuh diri tersebut masuk dalam tipe Bunuh Diri Egoistis. Sebagaimana Emile Durkheim telah
menjelaskan bahwa Tingginya angka bunuh diri
egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak
berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini
melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat
bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus
sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Emile
Durkheim adalah seorang
sosiolog terkenal dari Perancis.Selama hidupnya ia menulis banyak buku
diantaranya adalah The Division of Labor in Society, The Rules of Sociological
Method, The Elementary Form of Religious Life,dan Suicide.
Durkheim terkenal dengan teorinya yang disebut dengan
“fakta sosial”.Menurutnya,Fakta sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang
dapat berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau
bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai
suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaanya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual.
Dalam
bukunya yang kedua Suicide,dikemukakan
dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang
melakukan bunuh diri. Durkheim ingin mengetahui pola atau
dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan
tindakan yang sangat individual.Ada empat jenis bunuh diri menurut Durkheim yaitu
Altruistis,Egoistis,Anomik dan Fatalistis.
Selain itu di
dalam bukunya The Elementary Form of
Religious Life, Durkheim mengulas tuntas mengenai sifat-sifat, sumber,
bentuk-bentuk, akibat dan variasi agama dari sudut pandangan sosiologistik.
Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap
masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang
dianggap profane atau duniawiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer,
George dan Douglas J. 2004. Goodman. Teori
Sosiologi. Nurhadi (penerjemah). Yogyakarta: KREASI WACANA
Siahaan,
Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah
dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Osborne,
Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal
Sosiologi for Beginners. Siti Kusumawati A. (penerjemah). Bandung: Mizan
Paisal, Doktor. Biografi Emile Durkheim. http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-emile-durkheim/. Diakses pada Jum’at 20 September
2013.
Doyle P Johnson. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil 1. Jakarta:
Gramedia
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Jil 6.
Bantul: Kreasi Wacana
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi.
Jakarta: Erlangga
0 Response to "Makalah Sosiologi Teori Emile Durkheim"
Posting Komentar