Makalah Sosiologi Teori Emile Durkheim




MAKALAH

SOSIOLOGI
TEORI “BUNUH DIRI”
EMILE DURKHEIM
DI SUSUN
OLEH
DENI IRAWAN
(S2215043)


JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ICHAN GORONTALO
TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Yg Telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan kemampuan dan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesainkan tugas ini.
Dalam menyelesaian tugas penulis berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini dapat mencapai kesempurnaan, namun sebagai hambah Allah SWT yang menyadari sepenuhnya atas segala kekurangan, kehilafan dan kesalahan. Olehnya itu, penulis menerima kritikan dan saran dari semua pihak dalam penyempurnaan tugas ini. Semoga apa yang terdapat dalam penulisan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca utamanya bagi kami sendiri dalam pengembangan pengetahuan di masa yang akan datang dan segalanya bernilai ibadah disisi Allah SWT, Amin.


                                                         
                                               
   Gorontalo,  8 MARET  2016
                                                                              
     Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ...................................................................1
DAFTAR ISI .................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................3
A. Latar Belakang ......................................................................... 3
B. Perumusan Masalah ..................................................................4
C. Tujuan .......................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................6
E. Biografi Singkat Emile Durkheim..........................................6
F. Teori-Teori  Emile Durkheim …………………........................10
G. Teori Solidaritas………….. ......................................................11
H. Teori BUnuh Diri ......................................................................12
I. Teori Agama………… ...............................................................12
J. Study Kasus ……………………………………………………13


BAB III PENUTUP ........................................................................14
K. Kesimpulan .................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................15







BAB I
Pendahuluan
A.   Latar Belakang
Durkheim dianggap sebagai bapak sosiologi modern, karena usaha-usahanya menjadikan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru. Ia percaya bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Ia menolak pendekatan individual dalam memahami fenomena dalam masyarakat dan lebih memilih pendekatan secara sosial. Oleh karena itu ia juga berusaha memperbaiki metoda berpikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pada pemikiran-pemikiran logika filosofi tetapi sosiologi.  Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk oleh fakta sosial yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang menyebabkan  Durkheim sering Dianggap sebagai bapak sosiologi (Gouldner, 1958). Meskipun istilah sosiologi telah dilahirkan Auguste Comte beberapa tahun sebelumnya, namun belum ada
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat, Durkheim berpendapat bahwa sosiologi mesti berorientasi kepada penelitian empiris. Ia merasa terancam oleh aliran filsafat yang terdapat dalam sosiologi itu sendiri. Dalam pandanganya, tokoh utama lainya  seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer, keduanya lebih memiliki perhatian pada filsafat, dalam teori abstrak, kemudian mereka mempelajari dunia sosial secara empiris. Jika ranah ini diteruskan berdasarkan arah yang disusun oleh Comte dan Spencer, Durkheim khawatir, ranah ilmu ini tidak akan lebih dari sekadar sebuah cabang filsafat. Artinya, Durkheim merasa perlu mengkritik Comte dan Spencer karena mereka terlalu berpegang pada ide yang ada tentang fenomena sosial, dan bukanya pada studi atas dunia riil secara aktual. Ia menganggap Comte masih keliru karena telah mengandaikan secara teoritis bahwa dunia sosial selalu bergerak menuju kondisi masyarakat yang kian lama kian sempurna bukannya melakukan kerja ilmiah yang sungguh-sungguh, ketat, dan mendasar dalam mengkaji perubahan hakikat berbagai masyarakat. 
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi Emile Durkheim ?
2.   Apa teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim?
          3.    Contoh kasus pemikiran Emile Durkheim di masyarakat Gorontalo?
C.   Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui biografi dan latarbelakang Emile Durkheim
2.    Mengetahui dan memahammi teori-teori yang dikemukaan oleh Emile Durkheim dan contohnya pada  mayarakat Gorontalo



BAB II
Pembahasan

A.   Biografi Singkat Emile Durkheim

   Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, Prancis. Ia berasal dari keluarga rabbi atau pendeta bagi kaum Yahudi. Tetapi pada umur belasan tahun, Ia menyangkal silsilah keturunanya (Strenski, 1997: 4). Sejak saat itu, minat terhadap agama lebih akademis daripada teologis (Mestrovic, 1988). Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun juga pada pendidikan umum dan penekananya pada soal-soal literer dan estetis. Ia mendambakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Pada tahun 1887 Ia mengajar filsafat di beberapa sekolah provinsi di sekitar Paris.
Keinginanya dalam mempelajari ilmu pengetahuan semakin besar ketika Ia melakukan perjalanan ke Jerman. Disana Ia mengenal psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Di tahun-tahun setelah kunjunganya ke Jerman, Durkheim menrbitkan beberapa karya yang menuliskan pengalamanya di Jerman. Publikasi-publikasi ini membantu Ia memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux pada tahun 1887. Disana Durkheim memberikan kuliah dalam ilmu sosial di sebuah Universitas Prancirs untuk pertama kalinya. Hal ini
merupakan prestasi terbesar, karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan menggemparkan merebak di sebuah Universiras Prancis setelah seorang mahasiswa menyebut Auguste Comte dalam disertasinya. Tanggung jawab utama Durkheim adalah memberikan pedagogik untuk calon guru sekolah, dan mata kuliahnya yang paling penting adalah pendidikan moral. Alasan dari pendidikan moral sendiri adalah agar para pendidik mampu menularkan sistem moral kepada siswa-siswanya yang diharapkan memperbaiki kemrosotan moral yang Ialami masyarakat Prancis.

B.     Teori Emile Durkheim

1.      Teori Solidaritas
        Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan / atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

a.       Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif (pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu). karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral kolektif.  Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.

b.       Solidaritas organik
Masyarakat solidaritas organic dibentuk oleh hukum restitutif (ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks). Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi xecara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih
mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial.
2.      Teori tentang Agama
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembal

3.      Teori Bunuh Diri
Dalam bukunya yang kedua Suicide, dikemukakan dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Tujuannya dalam studi kali ini, selain untuk berkontribusi terhadap pemahaman persoalan sosial, juga untuk menunjukan sebuah kekuatan disiplin sosiologi. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual. Dan dengan pendekatan disiplin sosiologi yang baru ini, ia percaya dapat memperluas ranah sosiologi kepada fenomena-fenomena lain yang terbuka bagi analisis sosiologi.
Durkheim tidak mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Karena itu adalah wilayah studi psikologi. Perhatiannya adalah menjelaskan perbedaan angka bunuh diri dari beberapa negara. Ia memiliki asusmsi mengenai fakta sosial yang melatarbelakangi fenomena bunuh diri ini sekaligus kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih itnggi. Durkheim menggunakan dua cara yang saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Pertama dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe lain.  Kedua, dengan melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat atau kelompok dalam rentang waktu tertentu. Jika ada perbedaan dalam angka bunuh diri antara suatu kelompok dengan kelompok lain atau dari suatu periode dengan periode yang lain, maka menurut Durkheim perbedaan tersebut adalah akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus sosial.
Dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di beberapa negara, dia menunjukan penolakannya terhadap teori-teori lama tentang bunuh diri tersebut. Kalau kemiskinan, menurut Durkheim, kenyataannya orang-orang dari lapisan atas(kaya) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya dbanding dengan orang-orang dari lapisan bawah(miskin). Hal itu ditunjukannya dengan mengatakan bahwa di negara-negara miskin di Eropa seperti Italia dan Spanyol, justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang lebih makmur, seperti Prancis, Jerman,dan negara-negara Skandinavia. Lalu Durkheim menambahkan bahwa, jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur dari pada sebab-sebab serta penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh teori-teori terdahulu mengenai bunuh diri. Angka bunuh diri yang ditunjukan dari suatu kelompok atau masyarakat bersumber pada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, bunuh diri harus dipelajari dengan menghubungkanya dengan struktur sosial dari masyarakat atau negara yang bersangkutan,

Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
A . Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
B.  Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
C.  Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
      Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam: 
 

      1. Bunuh Diri Egoistis.
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2. Bunuh Diri Altruistis.
Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.


3. Bunuh Diri Anomic.
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu  menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.

Ada empat jenis bunuh diri akibat dari tipe anomik ini, antara lain:
a.    Anomi ekonomis akut (acute economic anomie) yakni kemerosotan secara sporadis pada kemampuan lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
b.    Anomi ekonomis kronis (chronic economic anomie) adalah kemerosotan regulasi moral yang berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Misalnya saja revolusi industri yang menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan-tujuan untuk meraih kekayaan dan milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan bahagia. Saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya daripada orang-orang yang miskin.
c.    Anomi domestik akut (acute domestic anomie) yang dapat dipahami sebagai perubahan yang sedemikian mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada ketidakmampuan untuk melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda (widowhood) merupakan contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini.
d.    Anomi domestik kronis (chronic domestic anomie) dapat dilihat pada kasus pernikahan sebagai institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan kebutuhan seksual dan
      perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan. Seringkali yang terjadi adalah lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian mengekang kehidupan kalangan perempuan sehingga membatasi peluang-peluang dan tujuan-tujuan hidup mereka.
4. Bunuh Diri Fatalistis.
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan

C.   Study Kasus
Sofyan Terjun dari Lantai 3 Menara Keagungan Limboto.
          Seorang mahasiswa tewas mengenaskan setelah terjun dari Menara Keagungan, sebuah landmark  Propinsi Gorontalo yang banyak dikunjungi para wisatawan, Selasa (21/7). Belum diketahui motif Sofyan Ano nekat bunuh diri. Dugaan sementara korban memiliki masalah asmara dengan sang kekasih.
Sofyan Ano yang tercatat sebagai mahasiswa STIMIK Jayakarta, Jakarta, tewas dengan kondisi mengenaskan di tengah jalan raya di bawah menara. Kepalanya pecah berhamburan setelah terjun bebas dari lantai empat Menara Keagungan di ketinggian 45 meter. Sebelum kejadian, korban sempat membeli tiket masuk di loket. Korban yang merupakan pengunjung pertama saat itu, sempat ditanyai oleh penjaga loket tiket karena berjalan sendirian. Kasus ini kini dalam penyelidikan aparat Kepolisian Resor Limboto, Gorontalo.
Di kamar mayat Rumah Sakit M.M Dunda Limboto, ibu korban tidak kuasa menahan tangis saat mengetahui anaknya telah terbujur kaku. Dia mengaku sudah memiliki firasat buruk sejak semalam sebelum kejadian. Kakak korban pingsan setelah melihat kondisi adiknya.
Jika di lihat dari motif  bunuh diri di atas dengan memakai teori dari Emile Durkheim maka kita dapat menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri tersebut masuk dalam tipe Bunuh Diri Egoistis. Sebagaimana Emile Durkheim telah menjelaskan bahwa Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri

BAB III
Penutup

Kesimpulan
Emile Durkheim adalah seorang sosiolog terkenal dari Perancis.Selama hidupnya ia menulis banyak buku diantaranya adalah The Division of Labor in Society, The Rules of Sociological Method, The Elementary Form of Religious Life,dan Suicide.
Durkheim terkenal dengan teorinya yang disebut dengan “fakta sosial”.Menurutnya,Fakta sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaanya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Dalam bukunya yang kedua Suicide,dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual.Ada empat jenis bunuh diri menurut Durkheim yaitu Altruistis,Egoistis,Anomik dan Fatalistis.
Selain itu di dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim mengulas tuntas mengenai sifat-sifat, sumber, bentuk-bentuk, akibat dan variasi agama dari sudut pandangan sosiologistik. Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawiah.




DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas J. 2004. Goodman. Teori Sosiologi. Nurhadi (penerjemah). Yogyakarta: KREASI WACANA
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Osborne, Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi for Beginners. Siti Kusumawati A. (penerjemah). Bandung: Mizan
Paisal, Doktor. Biografi Emile Durkheim. http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-emile-durkheim/. Diakses pada Jum’at 20 September 2013.

Doyle P Johnson. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil 1. Jakarta: Gramedia
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Jil 6. Bantul: Kreasi Wacana
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga





0 Response to "Makalah Sosiologi Teori Emile Durkheim"

Posting Komentar