MAKALAH
SOSIOLOGI
TEORI “
ASHABIYAH”
IBNU KHALDUN
DI SUSUN
OLEH
DENI IRAWAN
(S2215043)
JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS SOSIAL
DAN POLITIK
UNIVERSITAS
ICHAN GORONTALO
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT Yg Telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
serta senantiasa memberikan kesehatan kemampuan dan kekuatan kepada penulis
untuk dapat menyelesainkan tugas ini.
Dalam menyelesaian
tugas penulis berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini dapat mencapai
kesempurnaan, namun sebagai hambah Allah SWT yang menyadari sepenuhnya atas
segala kekurangan, kehilafan dan kesalahan. Olehnya itu, penulis menerima
kritikan dan saran dari semua pihak dalam penyempurnaan tugas ini. Semoga apa
yang terdapat dalam penulisan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca utamanya
bagi kami sendiri dalam pengembangan pengetahuan di masa yang akan datang dan
segalanya bernilai ibadah disisi Allah SWT, Amin.
Gorontalo,
19 MARET 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................1
DAFTAR ISI .................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
.............................................................3
A. Latar Belakang
......................................................................... 3
B. Perumusan Masalah
..................................................................4
C. Tujuan
.......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
...............................................................6
D. Biografi
Singkat ...............................................................
….6
E. Teori Solidaritas…………..
......................................................11
F. Study Kasus …………………………………………………..13
BAB III PENUTUP ........................................................................14
G. Kesimpulan
.................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................15
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Perubahan sosial selalu dialami oleh setiap
masyarakat. pada dasarnya masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan perubahan
sosial dan kebudayaan. Perubahan sosial meliputi semua segi kehidupan
masyarakat, yaitu perubahan cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi
semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi
makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai
dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan
dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan
dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan
lain-lainnya. Dengan begitu banyak ahli yang memaparkan tentang perubahan
social dan kebudayaan, kami akan menerangkan teori berfikir Ibn khaldun
mengenai perubahan social.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi Ibnu kholdun ?
2. Apa teori yang dikemukakan oleh
Emile Durkheim?
3. Contoh kasus pemikiran Ibnu kholdun?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
biografi dan latarbelakang Ibnu kholdun
2. Mengetahui dan
memahammi teori-teori yang dikemukaan oleh Ibnu kholdun
3. Mengetahui contoh kasus dari pemikiran Ibnu
kholdun
BAB
II
Pembahasan
D. Biografi
Singkat IBNU KHOLDUN
Selama ini ada
kecenderungan untuk memandang sosiologi hanya sebagai fenomena modern dan
barat. Namun, sebaliknya, beberapa cendikiawan telah mengembangkan sosiologi
sejak lama dan di belahan dunia lain. Salah satu contoh adalah Abdul Rahman
Ibnu-Khaldun.
Ibnu Khaldun
lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei 1332 (Faghirzadeh,1982). Lahir dari
keluarga terdidik, Ibnu Khaldun mengenyam pendidikan Al-Qur’an, matematika, dan
sejarah. Sepanjang hayatnya, ia mengabdi kepada Sultan Tunisia, Maroko, Spanyol
dan Aljazair sebagai Duta Besar, penghulu kerajan dan anggota dewan
cendikiawan. Ia pun menghabiskan waktu selaama dua tahun di penjara Maroko
karena kenyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin agama. Setelah
kira-kira dua dasawarsa menjalankan aktivitas politik, Ibnu Khaldun kembali ke
Afrika Utara, tempat ia melakukan studi dan menulis secara intensif selama lima
tahun. Karya yang dihasilkan selama kurun waktu tersebut melambungkan namanya
dan membawanya menjadi dosen di pusat studi Islam, Masjid Universitas Al-Azhar
di Kairo. Dalam kuliah masyarakat dan sosiologi yang banyak menarik minat itu,
Ibnu Khaldun menegaskan arti penting kesinambungan pemikiran sosiologi dengan
pengamatan sejarah.
Sampai dengan
ia wafat tahun 1406, Ibnu Khaldun telah menghasilkan banyak karya penting yang
mengandung gagasan-gagasan yang memiliki kesamaan dengan sosiologi kontemporer.
Ia sangat yakin dengan kajian ilmiah atas masyarakat, penelitian empiris, dan
pencariaan sebab-sebab terjadinya fenomena sosial. Ia amat memerhatikan
berbagai institusi sosial (misalnya: politik dan ekonomi) dan kaitan antara
keduanya. Ia tertarik membandingkan masyarakat primitif dengan masyarakat
modern. Ibnu Khaldun memang tidak membawa dampak dramatis pada sosiologi
klasik, namun sebagai cendikiawan pada umumnya, dan cendikiawan Islam khususnya,
penelaahan atas karyanya akan menempatkan dia pada sosok yang punya
signifikansi historis yang tidak kecil.
E. Teori Ibnu
kholdun
1. Teori
Siklus
Pengertian
Teori Siklus.
Teori siklus
adalah suatu teori perubahan sosial yang merupakan proses seperti gelombang
yang naik dan turun. Perubahan sosial dengan model siklus memandang
perkembangan secara pesimis. Perubahan bersifat siklus yang selalu berulang
seperti perkembangan mahkluk hidup, mulai dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa
hingga kematian.
Menurut Ibn Khaldun manusia
diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu
membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya
dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan.
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah,
Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara
atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap sukses atau tahap
konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang
berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap tirani, tahap dimana
penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang
memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
3. Tahap sejahtera, ketika
kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha
membangun negara.
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan
damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah
dibangun para pendahulunya.
5.
Tahap hidup boros dan berlebihan.
Tahap-tahap di atas menurut Ibnu
Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan
segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas
kekuasaan yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka
yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan,
menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki
hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka
sukai tanpa mempedulikan nasib negara.
Impian yang tercapai kemudian
memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula
biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172).
Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga
teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
2.
Teori Solidaritas (Asbaniyah)
Masyarakat yang
selalu berubah, dinamis dan heterogen. Antara masyarakat satu dengan masyarakat
yang lainmemiliki akar sejarah yang berbeda, memiliki kerangka norma, nilai dan
aturan yang khas masing-masing mempunyai identitas dan ideologi yang di anut
secara kolektif. Ibnu Khaldun
melihat kehidupan nomaden
( berpindah-pindah ) dengan kehidupan menetap
dengan ciri yang memiliki nilai dan norma masing-masing.
Konsep
ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut
ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties)
dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta
terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak
kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka,
maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin
renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Ashabiyah dalam
pemikiran Ibn Khaldun memiliki konotasi positif yakni sebagai piranti
solidaritas sosial atau ketidaksetiakawanan kelompok dan suku. Ibn Khaldun
sendiri sebenarnya menyadari makna negatif dari konsepnya tentang ashobiyah
dan banyak pihak menunduh konsep itu sebagai pemicu konflik atau kekerasan
antar suku. Namun demikian, ashabiyah dimaknai
sebagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat menuju pada perubahan dalam
struktur sosial dan politik serta perubahan pada level kultur dan kebudayaan.
Dengan ashobiyah tersebut masyarakat menuju pada kemajuan.
Menurut Ibnu Khaldun,
semakin kuat ashobiyah dalam suatu komunitas akan meningkatkan komitmen
suatu masyarakat, sebaliknya semakin rendah dan longgarnya ashobiyah
akan membawa pada konflik dan disintegrasi sosial.
Kekuatan ashobiyah
atau solidaritas dalam suatu komunitas atau suku akan membawa dampak pada
meningkatnya kehidupan sosial masyarakat.
Menurut ibnu Khaldun, ashobiyah
meliputi kelompok manusia primitif (badw) dan kelompok manusia berbudaya
( hadhar). Konsep ini memiliki makna yang
mendalam dalam
memotret kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Misalnya dalam
masyarakat Indonesia, apabila menggunakan konsep ashobiyah Ibnu Khaldun maka
dapat dipastikan tingkat ashobiyah antar komunitas, suku, daerah, adat
istiadat yang diperkuat oleh regulasi politik pemerintah mengenai otonomi
daerah tentu sangat longgar, kecuali pada beberapa daerah yang mempunyai
suku-suku yang “terisolasi” dari modernisasi.
Ashabiyah mengandung makna Group
feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen
sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau
tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau di sakiti.
Ibnu Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu
Badawah komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan
Hadharah kehidupan kota, masyarakat
beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury).
Penduduk kota menurutnya banyak berurusan
dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu.
Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan
orang-orang Badwi, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam
batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan.
Daerah yang subur berpengaruh
terhadap persoalan agama. Orang-orang Badwi yang hidup sederhana dibanding
orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah
lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan
berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di
kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu,
sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah Orang Zuhud.
Orang Badwi lebih berani daripada
penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka
larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri
dan harta kepada penguasa. Sedangkan Orang Badwi hidup memencilkan diri dari
masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah
mendapatkan pengawasan
tentara. Karena itu, mereka sendiri
yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang
lain.
Untuk bertahan hidup masyarakat
pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan
kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan.
Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah
negeri. Sifat kepemimpinan selalu di miliki orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus atau
umum. Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging
daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu,
memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial
yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang
ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan
sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan.
F.
Study Kasus
Hari Raya Idul fitri, NU dan Muhammadiyah Beda
fenomena
NU, Muhammadiyah serta pemerintah Indonesia dalam menentukan tanggal jatuhnya
hari raya Idul Fitri. Muhammadiyah lebih sering berbeda dengan pemerintah
sedangkan NU cenderung memiliki pendapat yang sama dengan pemerintah dalam
menentukan tanggal jatuhnya hari raya Idul Fitri tersebut.
Fenomena
NU dan Muhammadiyah yang telah saya sebutkan di atas merupakan salah satu
contoh dimana solidaritas kelompok itu terkadang berpotensi menimbulkan
perpecahan di dalam suatu bangsa. Maka dari itu, ketertiban serta ketentraman
sebuah negara tidak bisa hanya diukur dari besarnya solidaritas kelomok saja.
Menurut saya, solidaritas kelompok saja tidak cukup menjamin itu semua. Karena
dibutuhkan masyarakat yang benar-benar solid dalam situasi apapun. Namun, tidak ada negara yang seperti
itu, tidak ada yang mampu mencapai kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya
milik Allah, dan kita hanya mampu berusaha membuat segala hal jadi lebih baik
dari sebelumnya. Sehingga “toleransi” harus terus dijunjung
tinggi demi menjaga hubungan baik kita antar sesama masyarakat dan antar
masyarakat dengan pemimpin sebuah negara. Agar terwujud cita-cita luhur kita
membangun sebuah negara yang penuh dengan kedamaian.
BAB III
Penutup
G.
Kesimpulan
Ibnu khaldun adalah seorang yang jenius, ia juga
tokoh sosiologi jauh sebelum Auguste Comte.Ibn Khaldun mempunyai teori
perubahan social dan budaya bahwa masyarakat terdiri dari dua kelompok,yaitu
madaniah dan nomadic. Selain itu Dalam elaborasi pemikiran Ibnu Khaldun tentang perubahan social dalam
teorinya ashabiyah
Atau Solidaritas Kelompok mempunyai
pengaruh sangat signifikan bagi
tercapainya tujuan bersama dalam sebuah kelompok di masyarakat atau Negara
DAFTAR PUSTAKA
Jurdi, Syarifuddin,
2012, Awal Mula Sosiologi Modern, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Ritzer.George , J.Goodman. Douglas.
2011. Teori sosiologi modern , edisi
keenam. Jakarta :Kencana
Predana Media
Alatas, Syed Farid. 2006a. “A Khaldunian Examplar for a
Historical Sociology for the South.” Current Sociology
Dhaouadi, Mahmoud. 2006. “The Ibar: Lessons of Ibn
Khaldun’s Umran Mind.” Contemporary
Sociology
0 Response to "Makalah Sosilogi Teori Ibnu Kholdun"
Posting Komentar